Buat gue rindu terekstrim bukan dengan bengong di teras rumah sambil ngeliat hujan turun, tapi sesimple nyium parfume khas orang yang lo sayang. Yep, senyawa paling membahayakan kalo lo udah hafal aroma khas seseorang. Dan lebih bahayanya lagi, aroma itu bukan cuma mendatangkan rindu, tapi juga membangkitkan kenangan.
Pernah sebulan yang lalu, gue hampir jatuh cinta sama seseorang. Hampir. Kalo gue Ariana Grande mungkin gue bakal bilang "almost". Nggak ada yang spesial dari orang ini. But I just wondering, "Kenapa Tuhan baru mempertemukan kita sekarang?". Rasa nyaman itu muncul sejak pertama gue ketemu sama dia, kayak udah lama banget nggak ketemu terus sekalinya ketemu satu sama lain saling berlomba-lomba ngelepas rindu. Dan yang ngerasain itu bukan cuma gue ataupun dia. Tapi hampir semua orang disekeliling gue merasakan atmosfer kebahagiaan. Dan saat itu, gue, untuk pertama kalinya, merasa cantik setiap lagi bercermin karna lagi jatuh cinta. Lo boleh muntah bacanya, tapi serius. I think I feel really really in love.
Tapi lagi-lagi, manusia satu ini terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ketika kita satu sama lain melawan jarak yang sebenernya bisa ditempuh dalam 3-4 jam itu, salah satu dari kita menyerah. Dan disitu gue tersadar, emang cuma Tuhan yang satu-satunya bisa adil. Manusia nggak pernah. Bahkan dalam hal berbagi rasa sayang. Mungkin kita beda presepsi, antara saling sayang atau paling sayang.
Untuk pertama kalinya dalam hidup gue merasakan kehilangan seseorang sebelum sempat memiliki. Gue baru sadar kata-kata dari novelnya si Christian Simamora itu bener-bener bisa nyata. Dan gue, disadarkan Tuhan tepat di depan mata.
Gue nggak pernah nggak merelakan kehilangan. Yang terasa berat adalah perpisahan yang disertai pelukan yang menghantarkan segala harapan. Ya, pelukan eratnya ngelebihin anak kecil genggam balonnya yang tinggal empat. Seakan-akan menyampaikan rasa sesal dan berat untuk meninggalkan. Dan kalo aja gue adalah Maudy Ayunda, mungkin saat itu juga gue udah nyanyi...
"Berkali-kali kau berkata kau cinta, tapi tak bisa..."
Damn it.
Dan beserta pelukan itu pula aroma parfumnya nempel tepat dibahu sebelah kiri baju gue. Dan malam itu gue cuma bisa melukin dan nyiumin baju gue sendiri. Shit.
Dua hari. Dua hari gue nggak cuci baju itu. Dan berharap dengan nggak cuci baju itu, aroma dia tetap tinggal, setidaknya hanya itu yang bisa gue harapkan setelah gue nggak bisa menahan dia untuk tetap tinggal. Dua hari itu juga gue merasa kosong, hampa, nggak tau harus berbuat apa. Dan dua hari itu pula yang membawa aroma itu pergi dengan sendirinya. Mereka lenyap. Dan baju gue kehilangan aromanya.
Mungkin parfum adalah senyawa yang dapat membangkitkan kenangan kita sama seseorang karna aromanya. Tapi seiring berlalunya hari, aroma itu pasti hilang. Pasti. Benda mati yang padat aja bisa lambat laun rapuh dimakan usia, apalagi yang sekedar senyawa yang tidak kasatmata.
Begitu pun juga perasaan. Yang tadinya begitu berat melepaskan ternyata bisa terasa ringan jika harapan diganti dengan kenyataan. Dan kita hanya perlu menerima dengan dada yang penuh kelapangan.
Cheers,
R #30Daysof1DayAPostChallenge
Comments
Post a Comment