Skip to main content

Revenge – Part 1

Teruntuk; Nama yang masih terngiang sejak bertahun yang lalu.

Ini bukan kali pertamaku menuliskan surat yang tertuju untukmu. Tapi bukan juga terakhir kalinya aku dengan sengaja menggurat luka yang lalu hanya untuk mengenangmu. Jadi izinkanlah aku untuk sejenak saja berdoa agar tak ada lagi detak jantung yang tiba-tiba berpacu menjadi lebih cepat setiap namamu terdengar di telingaku. Sebab masih akan ada 29 kali lagi untuk aku menguak kembali semua tentangmu, tentangku, dan tentang kita.

Ada kalanya setiap ingin menuliskan tentangmu semua terasa mudah. Namun ada kalanya juga kesulitan datang menghampiri karna segala memori tentangmu sudah hampir aku tuangkan di setiap detailnya. Tapi bukan kamu jika tidak bisa membuat jemariku dengan lihainya menari indah di atas kertas dengan pena hitam yang siap kehabisan tintanya. Yang siap kehabisan titik koma lalu mulai lagi dari paragraf pertama.

Bung, sudah bertahun-tahun lalu kamu mengendap di pikiranku. Apa kamu tidak lelah? Tidakkah bosan dengan segala rutinitasku setiap harinya kau rajin melintas di sela-sela ruang gerakku? Seperti pagi tadi ketika aku hendak menyeruput kopi, dipengaruhi alam bawah sadar aku menuangkan dua sendok teh kopi hitam, setengah sendok teh gula pasir, dan satu sendok teh vanilla creamer ditambah tiga ketukan bubuk cinnamon yang menjadi favoritmu. Atau seperti setelah usai mandi, yang kupakai adalah Davidoff Coolwater yang selalu membuatku merasa dekat denganmu, mengabaikan The Body Shop Indian Night Jasmine yang selalu menjadi andalanku. Lihat, betapa menyedihkannya aku sebagai wanita yang bersama dengan kebiasaanmu sehari-hari saja aku sudah bahagia.

Tidak sedikit beberapa teman dekat menyarankan aku untuk meninggalkanmu, meninggalkan kenangan bersamamu lebih tepatnya, dan mencoba mencari kehidupan yang lebih baik tanpa bayang-bayangmu lagi. Tapi tidakkah mereka tahu bahwa menghapus bayanganmu bahkan ternyata lebih sulit dari menyembuhkan luka yang masih membekas ketika kau beranjak pergi. Bahwa kenangan bersamamu seperti sabu yang menjelma menjadi candu. Bahwa mustahil menghilangkan jejakmu sementara aku di sini masih bersedia terpuruk karna mengenangmu aku tahu akan membawa keadaan semakin buruk.

Bung, namamu masih selalu terngiang di gendang telingaku bahkan setelah kau bertahun yang lalu memutuskan untuk beranjak pergi. Bahkan setelah aku tahu bahwa wanita yang selalu menengadahkan kepala usai beribadah ini tak jauh berbeda di matamu dengan debu yang ada di pojok ruangan, diabaikan, kotor, namun enggan kau bersihkan. Sebegitunya aku terhadapmu, dan sebegitunya kamu terhadapku.

Mungkin paragraf-paragraf ini terlalu menyedihkan untuk dibaca. Namun lebih menyedihkannya lagi ketika aku ternyata masih mampu melanjutkannya. Melanjutkan 29 kali lagi paragraf-paragraf yang membuatku semakin terpuruk. 29 kali lagi melanjutkan paragraf-paragraf yang pada akhirnya akan membuatmu menyesal telah melepaskan genggaman yang kau janjikan untuk dituntun ke pelaminan.



..




Comments

Popular posts from this blog

I Just Suddenly Miss You - Part 2

Kata Afgan, jodoh pasti bertemu. Setelah gue lulus SMA kabar terakhir yang gue denger dari Acil itu dia mau masuk Akpol. Sedangkan gue ngelanjutin kuliah di universitas swasta. Tapi, siapa sangka tau-tau gue bisa ketemu dia lagi di universitas yang sama, jurusan yang sama, dan kelas yang sama pula. 2010. Akhirnya gue ketemu lagi sama si Acil. Begitu tau gue sama dia sama-sama satu kampus, dia langsung ngontak gue. Kita sempet beberapa kali ke kampus bareng. Apalagi waktu jamannya masih ospek, kalo dia sempet pasti di jemput gue dan ke kampus bareng. Namanya juga masih baru lulus SMA, wajar kalo masih kebawa suasana jaman sekolah dulu. Jadi pernah suatu kali gue pergi nonton berdua dia, nonton Ninja Assassin atau apalah namanya itu, di Puri. Gue sempet bilang sama dia kalo kita ketemuan aja di Puri. Tapi dia malah bilang, "Gue cowok. Selagi gue bisa kenapa lo harus jalan sendirian. Nggak gentle amat gue." ,ciegitu. Nggak ada yang spesial sih dari kejadian selama ...

A Stranger Who Became My Lover

For the first time di 2016 nulis blog lagi. Sebenernya udah lama banget pingin nulis blog lagi, curhat kejadian sehari-hari di blog, tapi kenyataannya menulis blog bukan hanya sekedar mengetik, tapi juga mengumpulkan potongan-potongan memori yang udah lewat dan berusaha disusun kembali biar jadi cerita. Kayak sekarang yang lagi gue lakuin ini. Back to Agustus 2015, di mana sahabat gue yang kampret itu downloadin aplikasi Tinder di hp gue. Terus gue sempet, "Ngapain sih lu download aplikasi ginian??", walau akhirnya menikmati mengobrol dengan strangers lewat App itu. Emang ya namanya juga manusia, rasanya kadang sulit untuk tidak menjilat ludah sendiri. Sebab gue masih inget banget gimana ngototnya gue ketika gue bilang, "Ini aplikasi cuma buat lucu-lucuan doang, yakali gue beneran pacaran serius sama orang dari dating app gini" ke diri gue sendiri dan ke sahabat gue itu. Sampai akhirnya satu lelaki ini muncul dan membuat gue akhirnya harus menjilat ludah gu...

The Art of Letting Go

"What is coming is better than what is gone." 6 tahun yang lalu saya pernah ketemu sama seseorang, anaknya nggak tinggi, putih, charming. Waktu itu saya masih punya pacar, begitu pun dia. Bisa ketemu dia pun juga karna dia lagi main sama pacar saya waktu itu. Terus entah sejak kapan dia jadi pembalap saya juga nggak tau, dia bisa-bisanya nikung temen dia yang notabene adalah pacar saya saat itu. Ya sayanya juga mau sih sama dia, hahaha. Saat itu hubungan saya sama pacar saya emang nggak bagus, dia sendiri sebenernya udah hampir putus sebelum ketemu sama saya. Dalih-dalih curhat ya kita jadi deket. Lupa awalnya gimana yang jelas hubungan kita makin deket. Saking deketnya saya sampe bertanya-tanya kita ini apa? Lalu beberapa hari atau malah minggu dia nembak saya. Terus saya tolak. Ppfftt. Setelah itu saya nggak pernah berhubungan lagi sama dia. Pokoknya saya akhirnya jadian sama orang lain. Selama bertahun-tahun berlalu saya awet sama pacar saya. Sampe akhirnya di per...