Teruntuk; Nama yang masih terngiang sejak bertahun yang lalu.
Ini bukan kali pertamaku menuliskan surat yang tertuju untukmu. Tapi bukan juga terakhir kalinya aku dengan sengaja menggurat luka yang lalu hanya untuk mengenangmu. Jadi izinkanlah aku untuk sejenak saja berdoa agar tak ada lagi detak jantung yang tiba-tiba berpacu menjadi lebih cepat setiap namamu terdengar di telingaku. Sebab masih akan ada 29 kali lagi untuk aku menguak kembali semua tentangmu, tentangku, dan tentang kita.
Ada kalanya setiap ingin menuliskan tentangmu semua terasa mudah. Namun ada kalanya juga kesulitan datang menghampiri karna segala memori tentangmu sudah hampir aku tuangkan di setiap detailnya. Tapi bukan kamu jika tidak bisa membuat jemariku dengan lihainya menari indah di atas kertas dengan pena hitam yang siap kehabisan tintanya. Yang siap kehabisan titik koma lalu mulai lagi dari paragraf pertama.
Bung, sudah bertahun-tahun lalu kamu mengendap di pikiranku. Apa kamu tidak lelah? Tidakkah bosan dengan segala rutinitasku setiap harinya kau rajin melintas di sela-sela ruang gerakku? Seperti pagi tadi ketika aku hendak menyeruput kopi, dipengaruhi alam bawah sadar aku menuangkan dua sendok teh kopi hitam, setengah sendok teh gula pasir, dan satu sendok teh vanilla creamer ditambah tiga ketukan bubuk cinnamon yang menjadi favoritmu. Atau seperti setelah usai mandi, yang kupakai adalah Davidoff Coolwater yang selalu membuatku merasa dekat denganmu, mengabaikan The Body Shop Indian Night Jasmine yang selalu menjadi andalanku. Lihat, betapa menyedihkannya aku sebagai wanita yang bersama dengan kebiasaanmu sehari-hari saja aku sudah bahagia.
Tidak sedikit beberapa teman dekat menyarankan aku untuk meninggalkanmu, meninggalkan kenangan bersamamu lebih tepatnya, dan mencoba mencari kehidupan yang lebih baik tanpa bayang-bayangmu lagi. Tapi tidakkah mereka tahu bahwa menghapus bayanganmu bahkan ternyata lebih sulit dari menyembuhkan luka yang masih membekas ketika kau beranjak pergi. Bahwa kenangan bersamamu seperti sabu yang menjelma menjadi candu. Bahwa mustahil menghilangkan jejakmu sementara aku di sini masih bersedia terpuruk karna mengenangmu aku tahu akan membawa keadaan semakin buruk.
Bung, namamu masih selalu terngiang di gendang telingaku bahkan setelah kau bertahun yang lalu memutuskan untuk beranjak pergi. Bahkan setelah aku tahu bahwa wanita yang selalu menengadahkan kepala usai beribadah ini tak jauh berbeda di matamu dengan debu yang ada di pojok ruangan, diabaikan, kotor, namun enggan kau bersihkan. Sebegitunya aku terhadapmu, dan sebegitunya kamu terhadapku.
Mungkin paragraf-paragraf ini terlalu menyedihkan untuk dibaca. Namun lebih menyedihkannya lagi ketika aku ternyata masih mampu melanjutkannya. Melanjutkan 29 kali lagi paragraf-paragraf yang membuatku semakin terpuruk. 29 kali lagi melanjutkan paragraf-paragraf yang pada akhirnya akan membuatmu menyesal telah melepaskan genggaman yang kau janjikan untuk dituntun ke pelaminan.
..
Comments
Post a Comment